Jumat, 12 Oktober 2007

KONTROVERSI LAGU INDONESIA RAYA

Pasar Loak Surabaya v Web Server Leiden

Kontroversi lagu kebangsaan Indonesia Raya antara 1 stanza dan 3 stanza terus menggelinding. Setidaknya, hal itu mencuat setelah pakar telematika Roy Suryo mengklaim bahwa dirinya telah menemukan teks lagu Indonesia Raya dalam 3 stanza atau kouplet dari sebuah "server di Leiden". Berbagai pihak lantas mengomentarinya, apakah tetap menggunakan 1 stanza atau 3 stanza, mengapa selama ini kita hanya menyanyikan 1 stanza saja, hingga adanya rencana menghadap presiden mengenai keberadaan 3 stanza itu.

Meski sudah ada pihak-pihak yang berkomentar, hingga kemarin (6 Agustus 2007) belum ada pihak yang bisa memberikan jawaban dengan pas, tepat, dan benar berdasar data-data sejarah otentik.

Kekurangpuasan terhadap komentar dan tanggapan itu terjadi ketika saya membandingkan dengan data yang saya temukan pada buku sejarah lagu kebangsaan Indonesia Raya terbitan P.D. Percetakan Grafika Karya, Surabaya, 1967.

Buku sejarah itu berjudul Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja karya Oerip Kasansengari (almarhum), yang tidak lain adalah kakak ipar W.R. Soepratman, yang tinggal di Surabaya. Buku setebal 178 halaman itu masih menggunakan ejaan lama dan terdiri atas bab-bab penting. Yaitu, Lagu Indonesia Raja (bab II), Riwajat W.R. Soepratman (bab III), dan Karya-Karya W.R. Soepratman (bab IV).

Pada bab I, terdapat kata sambutan dari Gubernur Kepala Daerah Provinsi Djawa Timur Brigadir Djenderal TNI Mochamad Wijono; Panglima Daerah Militer VIII/Brawidjaja, Major Djenderal TNI Mochamad Jasin; Wali Kota Kepala Daerah Kotamadya Surabaja, Kolonel TNI, R. Soekotjo, dan kata pengantar Oerip Kasansengari selaku pengarang dan keluarga almarhum W.R. Soepratman.

Melihat pihak-pihak yang mendukung dalam penerbitan buku sejarah tersebut, tentu tidak diragukan lagi kebenaran yang termuat di dalamnya, termasuk teks lagu Indonesia Raja dalam 3 stanza atau kouplet.

"Leiden" v Gembong

Teks lagu Indonesia Raya temuan Roy melalui "server di Leiden" (2007) mirip dengan teks lagu Indonesia Raya yang terdapat pada buku sejarah temuan di pasar loak Gembong, Surabaya (2003). Kedua temuan itu sama-sama memiliki 3 stanza dengan ejaan lama yang belum disempurnakan. Namun, ada perbedaan fundamental pada refreinnya.

Jika refrein temuan Roy berbunyi "Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka", refrein yang termuat pada buku loakan itu tertulis "Indoneis, Indoneis, Merdeka, Merdeka". Nah, tentu kita harus berhati hati dan tidak gegabah untuk mengatakan bahwa temuan itu adalah teks asli Indonesia Raya.

Jika kita teliti lebih cermat di mana teks itu berada, kita bisa menilai teks mana yang dianggap lebih otentik. Pada teks temuan Roy, yang merupakan superimpose klip lagu kebangsaan Indonesia Raya berdurasi 4 menit, diperkirakan dibuat pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Itu terlihat pada visualisasi klip video yang menampilkan serdadu Jepang sedang berbaris.

Menurut Oerip Kasangsengari dalam bukunya bahwa lagu Indonesia Raya untuk kali pertama dinyanyikan lagi dengan menggunakan refrein aslinya setelah 9 Maret 1942, ketika Jepang menaklukkan tentara Belanda. Refrein asli itu berbunyi "Indoneis, Indoneis, Merdeka, Merdeka".

Selama 14 tahun (setelah Kongres Pemuda II pada 1928 hingga jatuhnya Belanda di tangan Jepang pada 1942) rakyat Indonesia dilarang pemerintah Hindia Belanda menyanyikan refrein aslinya. W.R. Soepratman mengerti bahwa kata Merdeka, Merdeka itu seperti halilintar menyambar di telinga Belanda dan guntur yang terus mengiang-ngiang di selaput telinganya. Maka, Soepratman mengganti refrein itu menjadi "Indonesia Raya, Mulia, Mulia" agar semangat persatuan dan gelora perjuangan tidak berhenti.

Panitia Lagu Kebangsaan

Sejak Kongres Pemuda II (1928) hingga masa pendudukan Jepang (1944), lagu Indonesia Raya semakin populer di seluruh pelosok tanah air. Karena itu, pada 8 September 1944 dibentuklah Panitia Lagu Kebangsaan yang diketuai Bung Karno. Anggotanya adalah Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Soedibyo, Darmawidjaja, Koesbini, KH M. Mansjur, Mr Mohamad Yamin, Mr Sastromoeljono, Sanoesi Pane, Simandjuntak, Mr Achmad Soebardjo, dan Mr Oetojo untuk mengatur tata cara menyanyikan lagu tersebut.

Panitia Lagu Kebangsaan itu menetapkan 4 putusan. Salah satu di antaranya berbunyi: Apabila lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinjanjikan satu kouplet sadja, maka ulangannja dilagukan dua kali. Apabila dinjanjikan tiga kouplet, maka ulangannja dilagukan satu kali, tetapi pada kouplet jang ketiga ulangannja dilagukan dua kali.

Menurut saya, mungkin sejak itu para pendahulu kita lebih memilih menyanyikan satu stanza/kouplet saja yang tidak terlalu panjang. Akibatnya, stanza kedua dan ketiga terabaikan. Ketika akhir-akhir ini muncul kembali, kontroversi pun terjadi. Padahal, yang kita nyanyikan selama ini adalah lagu kebangsaan asli ciptaan W.R Soepratman. Kita juga menyanyikannya sesuai dengan putusan Panitia Lagu Kebangsaan (1944).

Selain itu, Panitia Lagu Kebangsaan mengubah lagu Indonesia Raya sehingga sejak 8 September 1944, lagu kebangsaan mempunyai teks baru. Refreinnya menjadi "Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka." (1944). Tidak lagi "Indoneis, Indoneis, Merdeka, Merdeka" (1928) maupun "Indonesia Raya, Mulia, Mulia" (1928 - 1942).

Selain pada refrein, perubahan terdapat pada teks stanza I, bait I, baris 4. Jika versi 1928 berbunyi "Mendjaga pandu ibuku", versi 1944 berbunyi "Djadi pandu ibuku". Juga, pada bait II, baris 2: (1928) "Kebangsaan tanah airku", (1944) "Bangsa dan tanah airku". Pada bait III, baris 3: (1928)"Bangsaku, djiwaku semuanja", (1944) "Bangsaku rakjatku sem’wanja" dan bait IV, baris 1 & 2: (1928) "Bangunlah rakjatnja, bangunlah bangsanja" diubah menjadi "Bangunlah djiwanja, bangunlah badannja".

Perubahan juga terjadi pada stanza II, bait I, baris 3: "Disanalah aku hidup" yang diubah menjadi "Disanalah aku berada" dan bait II, baris 2 & 3: "Pusaka kita semuanja, Marilah kita berseru" yang diubah menjadi "Pusaka kita sem’wanja, marilah kita mendo’a". Perubahan terakhir pada stanza III, bait I, baris 3: "Mendjaga ibu sedjati" diubah menjadi "Njaga ibu sedjati".

Jika saya mengamati teks yang terdapat pada klip video temuan Roy Suryo, saya bisa menyimpulkan bahwa teks lagu Indonesia Raya temuan Roy di "server Leiden" itu adalah teks hasil perubahan 1944. Jadi, bukan teks asli seperti yang dinyanyikan pada Kongres Pemuda II pada 1928. Kini terserah mana yang dianggap asli, hasil perubahan (1944) atau yang dinyanyikan di Kongres Pemuda II (1928).

Miskin tapi Kaya

Lepas dari persoalan kontroversi, saya bangga dengan munculnya persoalan itu. Sebab, kita semua semakin mengerti isi lengkap dari lagu kebangsaan kita. Kita semakin mengenal bagaimana komponis kita yang hidupnya sangat sederhana dan bahkan miskin, tapi sangat kaya akan jiwa kebangsaan, semangat perjuangan untuk tidak mau dijajah bangsa mana pun. Itu terbukti dari makna setiap stanza yang ada.

Stanza I berisi rasa syukur yang ditujukan kepada tanah air, Nusantara, yaitu rangkaian kepulauan yang merupakan Persatuan Indonesia Raya. Stanza II berisi pemanjatan doa untuk tanah air supaya Indonesia bahagia. Stanza III berisi sumpah sakti dan kebulatan tekad untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka.

Semoga kita semua bisa memetik kebesaran W.R. Soepratman lewat semua lirik lagunya di ketiga stanza tersebut agar lebih memaknai hari kemerdekaan yang diperingati setiap 17 Agustus itu.

Nanang Purwono, eksekutif produser JTV (E-mail: Nanang_jtv@tahoo.com)

SORYY, bkn artikel asli bikinanku..ni diambil dari web.

Tidak ada komentar: