Jumat, 15 Februari 2008

Valentine Day to be A Philanthropy Day



Di tengah-tengah perdebatan mengenai apakah perlu tidaknya perayaan valentine day, kami memilih untuk menjadikannya sebagai salah satu penanda waktu untuk berkegiatan. Dengan tanpa menyebut-nyebut valentine day, hari kasih sayang, coklat, pink, mawar merah, kartu ucapan, 14 Februari, atau atribut lainnya yang tertuju pada sebuah kebudayaan asing, kami kumpulkan anak-anak yang baru bubar sekolah dan menggelar perlombaan sederhana yang kami namai “Spelling Contest”. Ini pun budaya asing yang memakai istilah asing dan kebetulan lomba itu pun mengharuskan peserta mengeja kata-kata asing (dalam hal ini Bahasa Inggris).

Kami mulai berpikir-pikir, lama-kelamaan manusia bisa “terasing” karena tidak mengenal yang “asing-asing”. Karena kami pun menggunakan perangkat ‘kamera’, ‘komputer’, ‘flash disk’, ‘internet’, ‘blog’, lalu tulisan dan gambar-gambar ini dapat dibaca dan dilihat anda atau siapa saja, yang tadinya semua itu masih asing. Jadi, hemat kami merayakan valentine day atau perayaan lain dari berbagai-bagai bangsa atau agama tidak menjadi masalah diukur dari tujuan dan caranya. Jika valentine day dirayakan dengan hura-hura, pemborosan, dan sex bebas seperti yang mungkin terjadi pada perayaan tahun baru masehi, kami jelas-jelas menolaknya (kedua-duanya, valentine day dan tahun baru itu).
Jadi ini bukan tentang ‘merayakan’ valentine day. Karena kata teman-teman yang menentang valentine day, “kasih sayang kan bisa ditunjukkan setiap hari”. Ini hanya tentang momentum, karena kami tidak lantas bertanya, “mengapa idul kurban tidak dirayakan tiap hari?” atau “mengapa bagi-bagi angpau hanya ketika Imlek saja?” atau “kenapa mensyukuri nikmat umur kok pas hari ulang tahun saja?” Untuk menjaga esensi suatu nilai, kasih sayang, rasa syukur, atau kedermawanan, memang seringkali dibutuhkan suatu momen khusus. Sampai-sampai kesultanan Turki perlu mencanangkan perayaan Maulid Nabi dengan tujuan kembali meneladani dan mempelajari peri kehidupan Nabi Muhammad SAW. Manusia memang terlalu mudah lupa dan teralihkan oleh berbagai kenyataan hidup, memiliki kecenderungan ‘ujub, takabur, dan jumawa. Oleh karena itu, sebuah perayaan kadang-kadang diperlukan.

Melihat antusiasme anak-anak ketika mengikuti lomba dan menunjukkan ‘kebolehannya’ mengeja kata-kata, membuat hati kami sedikit ciut. Karena hadiah yang bisa kami berikan hanyalah ‘sekedar hadiah’. Mungkin antusiasme ini kurang lebih sama dengan antusiasme masyarakat ketika menonton hewan kurban dipotong, diiris-iris dan bagikan.

Tidak ada komentar: