Rabu, 05 September 2007

Resensi Buku

HUGO CHÁVEZ: SOLUSI
KEPEMIMPINAN MILITER – SIPIL
YANG PRO-RAKYAT*

Sebagai bangsa yang mau belajar dan dapat melihat bahwa neoliberalisme adalah musuh bersama, maka nama Hugo Chávez harus masuk ke dalam daftar wajib untuk dikaji.
Selama ini, orang masih bertanya-tanya tentang sosok Hugo Chávez sebagai seorang pemimpin revolusi Venezuela yang kemunculannya sangat berbeda dengan mainstream tokoh revolusioner lainnya.
Hal inilah yang mencoba digali oleh Marta Harnecker, seorang peneliti dan sekaligus Direktur Center for Research on Popular Memory di Havana, Kuba di dalam bukunya ini. Ia menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusunnya sedemikian rupa dan dilengkapi dengan penjelasan yang berasal dari pidato dan pernyataan Presiden Hugo Chávez sendiri di berbagai kesempatan dan media massa. Apa yang dilakukan oleh Marta ini memudahkan para pembaca yang baru sama sekali mengenal sosok Hugo Chávez dan situasi politik di Venezuela.
Sebagai seorang revolusioner, Chávez tidak mendapatkan kekuasaannya dengan cara memobilisasi kelas pekerja atau buruh tani, sebaliknya ia berhasil melakukan suksesi melalui jalur konstitusi yang sah yang ada pada negerinya. Ia berhasil menggabungkan perjuangan militer dengan sipil untuk menumbangkan sebuah rezim yang tidak berpihak kepada rakyat.
Venezuela sebagai salah satu negara yang memiliki tradisi Bolivarian di Amerika Latin, memegang peranan penting dalam memasok minyak bumi ke Amerika Serikat. Namun seperti hampir semua negara penghasil minyak lainnya, selama puluhan tahun Venezuela harus berbagi keuntungan secara tidak proporsional dengan perusahaan-perusahaan minyak asing. Pada puncaknya, Presiden Carlos Andrés Peréz yang berkuasa sejak 1989 memberlakukan kebijakan Reformasi Ekonomi Neoliberal di mana perusahaan minyak asing dengan bebas membayarkan 100 persen keuntungannya ke negara asalnya. Pada masa rezim ini inflasi mencapai 80, 7 persen, upah riil menurun hingga 40 persen, pengangguran mencapai 14 persen, dan penduduk miskin meningkat menjadi 80, 42 persen. Kemarahan rakyat ketika terjadi lonjakan harga minyak di dalam negeri, segera ditumpas oleh tentara dan menewaskan sedikitnya 500 orang.
Memiliki latar belakang militer, Chávez ternyata sangat terpengaruh oleh pemikiran Claus Héller yang menyatakan bahwa militer dapat bertindak sebagai kekuatan sosial dan memosisikan diri sebagai agen perubahan. Chávez mengalami dan mengamati bahwa militer hanya digunakan sebagai alat dari pemerintah yang represif untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dia mempertanyakan fungsi sosial tentara sehingga tidak hanya terkungkung dalam baraknya dan hanya melayani kepentingan penguasa, alih-alih kepentingan negara dan rakyat. Chávez meyakini bahwa rakyat bagi tentara adalah ibarat air bagi ikan, di mana secara bersama-sama bahkan dapat menantang tendensi hegemoni global. Namun demikian, pada tahun 1992 Hugo Chávez pernah memimpin kudeta militer, tetapi segera dapat digagalkan melalui sebuah perundingan.
Hal yang paling menarik adalah ketika Hugo Chávez langsung terjun ke dalam gelanggang politik dan bersama partainya melakukan jajak pendapat kepada rakyat untuk mengetahui pendapat mereka tentang partisipasi pemilu dan mengenai pencalonan dirinya menjadi presiden. Di dalam isi buku ini, Marta Harnecker tidak lupa menanyakan dan mengupas peran tentara dalam nasionalisasi perusahaan minyak di Venezuela, peran lingkaran Bolivarian yang merupakan kelompok-kelompok kecil rakyat yang mendukung pemerintah, sampai percobaan kudeta Presiden Fedecámaras (Federasi industri rumah tangga, kecil, menengah, dan besar Venezuela), Pedro Carmona yang hanya bertahan selama 48 jam.
Apa yang dilakukan Hugo Chávez dalam mendorong rakyatnya untuk turut berpartisipasi aktif di dalam perpolitikan negara dan memosisikan institusi militer yang pro-rakyat dan digunakan untuk kepentingan rakyat inilah yang patut ditiru oleh bangsa Indonesia, yang selama ini memiliki kultur mendewakan pemimpin.

Judul buku:
Memahami Revolusi Venezuela:
Perbincangan Hugo Chávez dengan Marta Harnecker
Penerbit: Aliansi Muda Progresif dan Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta, 2007
241 hlm

* Artikel diterbitkan dalam majalah AGRICA edisi 2007

Tidak ada komentar: