Senin, 10 Maret 2008

Perbincangan Ketjil #2: Tantangan Kemanusiaan

“Tidak ada makhluk yang paling ajaib selain manusia”, demikian seru Sophocles ribuan tahun lalu. Setelah jaman berganti, waktu menjadi tua, ungkapan itu masih tetap berlaku. Manusia masih tetap menjadi makhluk “mystere” yang tidak akan habis dipecahkan dan terus-menerus mencari jati dirinya. Manusia menjalani kehidupan dan kemanusiaannya dengan atau tanpa pengertian akan dirinya. Jasmani manusia menuntut untuk dipelihara, diberi asupan makanan, air, udara, kemudian mengeluarkan apa yang semestinya dikeluarkan, yakni makanan, air, dan udara itu juga. Hal yang mungkin terjadi dengan atau tanpa pemahaman tentang dirinya atau dunia di luar dirinya.
Waktu berlalu, manusia cepat sekali menjadi tua, dan muda remaja tumbuh menggantikannya. Selama perjalanan waktu, manusia berkembang dalam banyak cara, menjalani kehidupan yang ‘begini’ atau kehidupan yang ‘begitu’, tidak pernah sama untuk setiap orang. Lalu pada waktu yang sekarang, apakah pernah terbetik dalam benak kita, mengapa keadaan untuk setiap orang bisa begitu berkebalikannya. Seseorang menerima uang 6,1 Milyar, dan di lain pihak sebanyak 6.100 orang mungkin mati busung lapar, atau mungkin seorang ibu dengan bayinya, mungkin anak-anak kecil, mungkin orang tua renta yang bahkan tak punya tempat untuk kubur ‘semewah’ di Astana Giribangun.

Manusia……manusia……harus siap untuk terluka, harus siap untuk kelaparan, harus siap untuk dianiaya, harus siap untuk menyakiti dirinya sendiri, dan harus siap untuk menjadi gila. Manusia menghadapi tantangannya setiap hari, setiap detik, setiap jengkal, dan setiap inchi dalam kehidupannya. Manusia tidak saja menghadapi keterbatasan jasmani, luka, penyakit, parasit, virus, bakteri, dan degenerasi gen, namun juga dihantui oleh kerapuhan rohani. Manusia memiliki risiko untuk kehilangan pikirannya, seperti yang disebutkan oleh Erich Fromm, yang berarti kehilangan dirinya di tengah-tengah alam semesta ini.

“Hidup di dunia ini pada dasarnya adalah menderita”, demikian pepatah Buddha yang juga diyakini oleh sebagian orang Jawa. Apakah itu benar? Banyak orang yang memilih untuk membunuh dirinya sendiri, atau anaknya, atau keluarganya, ketimbang memilih untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Apakah yang terjadi pada alam pikiran manusia sehingga pilihannya adalah meniadakan dirinya? Apa guna akal dan nalar yang menjadi keistimewaan manusia dibanding makhluk-makhluk lain? Apakah alasan ekonomi atau psikologis cukup kuat untuk membenarkan tindakan bunuh diri?
Mari kita lihat. Seorang penganut agama yang meyakini bahwa hidup ini penuh dengan penderitaan, tidak lantas putus asa lalu bunuh diri. Tetapi ia belajar dan memahami bagaimana supaya terlepas dari penderitaan itu. Seorang Jawa yang prihatin, melawan penderitaannya dengan sikap nrimo. Sehingga, dalam taraf apa pun – pengetahuan – sekecil apa pun, mampu menyelamatkan.
Pengetahuan yang berdasar pada keyakinan, pengetahuan yang bersandar pada kekuatan hidup seorang manusia – atau totipotensi – kemampuan suatu organ hidup yang kecil untuk tumbuh dan berkembang. Pengetahuan adalah senjata sekaligus pertahanan terakhir seorang manusia, demikian Pram. Pengetahuan memberikan alternatif-alternatif pilihan yang lebih banyak, memberikan fakta bahwa penderitaan itu tidak hanya dialami oleh kita sendirian. Pengetahuan menawarkan penerimaan dan sekaligus memberikan harapan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran kemanusiaan. “Homo sum, humani nil a me alienum puto (saya adalah manusia, dan tidak ada manusia lain yang terpisah dengan saya)”, demikian dikatakan Tenese.

Tidak ada komentar: